MENGEMBANGKAN PENOKOHAN DALAM CERPEN
MENGEMBANGKAN PENOKOHAN
DALAM CERPEN
Adik-adik, mari kita berlatih menulis cerpen. Kegiatan ini diawali dengan mengembangkan penokohan. Setiap cerita rekaan, termasuk cerpen, tentu mempunyai tokoh. Tokoh cerpen mungkin berupa manusia atau makhluk lain yang diberi sifat-sifat insani. Pada artikel sebelumnya, Anda telah mempelajari dan berlatih mengidentifikasi tokoh dalam cerpen. Pengetahuan tersebut masih tetap relevan sebagai bekal untuk mengembangkan penokohan. Pengetahuan tentang tokoh utama - tokoh bawahan, tokoh antagonis – tokoh protagonis dapat Anda gunakan untuk mengembangkan tokoh cerita. Di samping itu, ada hal-hal lain yang perlu Anda ketahui terkait dengan tokoh, yakni penokohan. Apakah sebenarnya penokohan itu? Perhatikanlah uraian berikut ini!
Penokohan adalah penggambaran watak tokoh dalam suatu cerita. Ada berbagai cara penggambaran watak tokoh, antara lain sebagai berikut. Coba perhatikan masing-masing paparan berikut ini, kemudian tentukan watak masing-masing tokoh dalam kutipan-kutipan cerpen berikut ini!
(a) Cara langsung
Dalam teknik ini pengarang langsung melukiskan tokoh, baik fisiknya, sosialnya, atau kejiwaannya. Pengarang langsung memberitahukan kepada pembaca tentang watak para tokoh dalam ceritanya. Berikut ini contoh penggambaran watak secara langsung.
“Ditemani Ibu Saleha, yang juga sudah tahu duduk perkaranya, Pak RT menghadapi wanita itu. Seorang wanita muda yang meski tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita yang hidup dengan sangat teratur. Pergi ke kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang tepat. Bangun dan tidur pada jam yang telah ditentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara serak-serak basah”.
(Dikutip dari cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, oleh Seno Gumira Ajidarma, Horison Tahun XXXIV, No. 1, Januari 2000, halaman 22).
(b) Cara tak langsung
Melalui deskripsi fisik
Bentuk tubuh tokoh sering menggambarkan wataknya. Namun, cara ini harus diterapkan secara hati-hati karena belum tentu wajah yang jelek dan kasar menggambarkan watak yang kasar. Berikut ini contoh penggambaran watak melalui deskripsi fisik.
“Badannya kurus tinggi, punggungnya bungkuk udang, dadanya cekung, serta kaki pengkar, kepalanya besar, tetapi tipis di muka, serta sulah pula. Rambutnya yang tinggal sedikit sekeliling kepalanya itu telah memutih sebagai kapas dibusur. Misai dan janggutnya panjang, tetapi hanya beberapa helai saja, tergantung pada dagu dan ujung bibirnya melengkung ke bawah. Umurnya lebih tua dari setengah abad. Matanya kecil, tetapi tajam, hidungnya bungkuk, mulutnya besar, giginya hitam kotor, yang di muka keluar sebagai gigi tupai. Telinganya besar seperti telinga gajah, kulit mukanya berkarut-marut dan penuh dengan bekas penyakit cacar.
(Dikutip dari Siti Nurbaya, oleh Marah Rusli, 1979, halaman 87).
Melalui ucapan tokoh
Ucapan tokoh dapat digunakan untuk menggambarkan pikiran, perasaan, sifat, kesukaannya, hal-hal yang dibencinya, atau yang lain. Contoh berikut menunjukkan hal itu.
“Kang Hermain jangan kaget,” Siti tersenyum di depan pintu kamar kontrakanku yang kumuh.
“Siti hanya minta dibawa keliling Jakarta sehari ini saja.”
“Sehari ini?” aku kaget karena merasa tak siap,”Mengapa tak Siti Katakan lewat surat kalau datang hari ini dan minta diantar hari ini juga?”
“Mengapa Akang seperti tak mau?” wajah Siti seperti merajuk, “Keberatan mengantar Siti?”
“Bukan keberatan, Ti. Tapi, aku harus minta izin karena hari ini hari kerja,” aku berkata meyakinkan Siti, “Nanti bisa dipecat aku kalau bolos. Zaman susah begini, setengah mati untuk mendapatkan pekerjaan.”
Tapi, Siti tak mau mendengar alasanku.
(Dikutip dari buku kumpulan cerpen Rawa, oleh Korrie Layun Rampan, halaman 117).
Melalui perbuatan tokoh
Perilaku tokoh juga dapat digunakan untuk menggambarkan watak tokoh. Berikut ini contoh penggambaran watak melalui perbuatannya. Berikut ini contoh pelukisan watak tokoh dengan menggunakan perbuatan tokoh.
“Sebenarnya, siapa sih yang menjahili adikku, buku-bukuku di kelas, menyembunyikan sepatuku, he ...!!!??
“Emangnya kenapa, itu kan salah kamu sendiri yang teledor!! Dan asal kamu tahu saja, bukan aku yang melakukannya, tahu!!”
“Apa?!! Si kurus mendelik. Mukanya memerah.
“Walaupun seandainya aku yang melakukan, kenapa kamu tidak langsung menegurku ... apa karena re... re...”.
“Rekonsiliasi maksudmu!! Bedabah! Asu!! Dasar gendut tak tahu aturan, rekonsiliasi dijadikan alasan. Kugibeng kau!!”
Tangan si kurus meraih kepala si gendut dan menjepitnya di ketiak. Si gendut sempat terhuyung, tapi akhirnya dia mampu berkelit dan memberikan perlawanan setimpal. Bogeman mentah mendarat di hidung si kurus. Merah.Ada darah mewarnai pertarungan antara dua bocah itu.
(Dikutip dari “Rekonsiliasi”, oleh M. Tsany Ubaidillah, dalam Horison, Tahun XXXVII, No. 12, Desember 2003).
Melalui reaksi atau ucapan tokoh lain
Cara ini juga banyak digunakan untuk menggambarkan watak tokoh. Contoh berikut membuktikannya.
“Tapi bukan Marto Manuk namanya jika ia putus asa sampai di situ. Ia telah dikenal begitu sabar ketika sedang memikat burung. Selama dalam perjalanan benaknya terus berputar mencari daya upaya. Dan saat ia membelokkan sepedanya di pintu pasar, sebuah akan jita muncul di benak Marto Manuk. Katuranggan. Ya katuranggan. Aku harus cepat-cepat menemui Wagiyo”
(Dikutip dari cerpen “Katuranggan”, karya Slamet Nurzaini dalam Pelajaran Mengarang: Cerpen Pilihan KOMPAS 1993).
Melalui deskripsi lingkungan
Lingkungan juga dapat dimanfaatkan untuk menggambarkan watak tokoh. Tokoh yang kamarnya berantakan, banyak puntung rokok, dan ada botol bir tentu akan menggambarkan watak tokoh yang berbeda bila dibandingkan dengan tokoh yang kamarnya banyak buku, alas kasur dan bantal tertata rapi.
Terang bulan. Listrik mati. Seperti biasa Naro melangkah pulang menjelang dini hari, menyusuri gang-gang kumuh yang kosong dan sepi, tapi yang kini tembok-tembok lumutannya memancar keperakan karena cahaya rembulan. Tembok-tembok masih hingar-bingar dengan grafiti warna-warni, nama-nama gang yang ganjil, dan kata-kata jorok, tak senonoh, kampungan, yang memang hanya cocok dituliskan di tembok sebuah kampung yang kumuh dengan comberan hitam kotor menggenang berbau petai seperti itu.
(Dikutip dari cerpen “Bulan di Atas Kampung”, karya Seno Gumira Ajidarma dalam Laki-laki yang Kawin dengan Peri: Cerpen Pilihan Kompas 1995, halaman 112)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar